Senin, 18 Mei 2015

Kontroversi RUU Lambang Kemanusiaan di Indonesia

Kontroversi RUU Lambang Kemanusiaan di Indonesia


Mungkin banyak masyarakat tidak tahu bahwa di komisi III DPR RI sekarang ini sedang dibahas Rancangan Undang-Undang tentang Lambang Palang Merah (RUU LPM). Apalagi di tengah banyaknya masalah yang menimpa bangsa ini, berita mengenai perkembangan RUU ini jarang sekali di dengar di media massa kita. Padahal, RUU ini tak kalah kontroversial dibandingkan RUU lainnya, khususnya di dunia kerelawanan Indonesia.

RUU yang diajukan pada tahun 2005 ini berisikan mengenai teknis spesifikasi pemakaian Lambang Palang Merah dan merupakan kelanjutan dari ratifikasi Konvensi Jenewa yang mewajibkan setiap negara memilki satu lambang kemanusiaan untuk perhimpunan nasionalnya agar dalam suatu konflik perhimpuan nasional ini dilindungi dari serangan senjata. Lambang yang diperkenankan dalam konvensi tersebut adalah lambang Palang Merah (Red Cross), Bulan Sabit Merah (Red Crescent), dan Kristal Merah (Red Cristal).

Tapi, dari isi RUU ini banyak sekali yang pada akhirnya menuai kontroversi. Dari mulai pengenaan sanksi bagi setiap yang menyalahgunakan lambang palang merah, hingga kekuatan yuridis RUU ini nantinya yang akan dapat menggeser organisasi kemanusiaan lain selain Palang Merah Indonesia (PMI).

Dalam RUU ini diatur penggunaan Lambang Palang Merah yang memiliki sanksi pidana terhadap pelanggarnya, tentu akan menjadi dilema tersendiri.Karena masyarakat sudah terlanjur mengenal Lambang Palang Merah sebagai lambang umum pengenal segala kegiatan yang berhubungan dengan medis seperti dipakainya dalam lambang rumah sakit, logo obat-obatan, kegiatan medis suatu partai, dan sebagainya.

Dengan adanya RUU ini jika nantinya disahkan menjadi UU, jelas akan berdampak signifikan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di bidamg medis. Banyaknya lambang dan logo yang harus diganti dan paradigmA Lambang Palang Merah dalam masyarakat harus diubah.

Tapi, yang lebih membuat kontroversial lagi adalah kekuatan yuridisnya yang akan menghapus berbagai organisasi kemanusiaan selain PMI yang menggunakan lambang sesuai Konvensi Jenewa karena Indonesia nantinya -dalam RUU ini- akan hanya memiliki satu lambang kemanusiaan, yakni Palang Merah yang dimiliki oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Jelas, beberapa organisasi kemanusiaan yang menggunakan Lambang sesuai Konvensi Jenewa selain PMI merasa hal ini merupakan bentuk monopoli PMI dan bentuk diskrimasi pemerintah terhadap organisasi kemanusiaan lainnya yang menggunakan lambang dalam Konvensi Jenewa tersebut.

Padahal, di Indonesia ada banyak organisasi kemanusiaan yang menggunakan lambang Konvensi Jenewa ini. Semisal Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai lambang organisasinya. BSMI juga merupakan salah satu organisasi yang paling lantang menolak RUU LPM ini karena alasan monopoli dan diskriminasi tersebut.Lalu, selain itu, masalah selanjutnya adalah pewajiban Lambang Palang Merah untuk semua kegiatan kemanusiaan terutama dalam konflik, termasuk relawan kesehatan, jawatan kesehatan tentara, dan rohaniawan.

Walau Palang Merah secara yuridis adalah lambang yang netral, -tidak merujuk agama, bangsa manapun- tapi, kita tak memungkiri jumlah masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim akan rentan mengalami penolakan. Apalagi yang memakai lambang tersebut adalah rohaniawan.

Penolakan di masyarakat mengenai lambang ini juga sering terjadi pada negara-negara dengan mayoritas muslim. Misalkan saja Turki Utsmani yang pertama kali membuat Lambang Bulan Sabit Merah ini karena merasa risih akan Lambang Palang Merah. Atau Malaysia yang sudah lama mengganti Lambang Palang Merahnya menjadi Lambang Bulan Sabit Merah. Bahkan Iran pernah menggunakan Lambang Singa Merah sebagai lambang kemanusiannya walau akhirnya dihentikan pemakainnya. Israel sendiri sampai sekarang masih konsisten menggunakan Lambang Bintang David Merah walau lambang tersebut tidak ada dalam Konvensi Jenewa.

Penggunaan lambang kemanusiaan sesuai dengan kultur bangsa tersebut adalah hal yang wajar. Karena kemanusiaan tersebut identik dengan manusia dalam masyarakat itu sendiri yang memilki kultur masing-masing.Tapi, tak pantas sebenarnya membahas lambang kemanusiaan apa yang sebaiknya dipakai oleh Indonesia karena Lambang Palang Merah dan Lambang Bulan Sabit Merah memiliki kelebihannya masing-masing. Lambang Palang Merah lebih lama hidup di Indonesia sehingga memiliki rentetan historis yang cukup panjang. Berbeda dengan Lambang Bulan Sabit Merah yang masih tergolong baru, walau mendapat respon yang sangat positif karena kedekatan kultur dengan masyarakat Indonesia sendiri. Untuk permasalahan RUU ini sendiri, terdapat beberapa opsional solusi atas ini.

Pertama, dibatalkannya RUU LPM ini dan membiarkan Lambang-lambang dalam Konvensi Jenewa tersebut tetap eksis masing-masing tanpa perlu dimonopoli oleh satu pihak.

Kedua, tetap diadakannya UU tentang Lambang Kemanusiaan dengan mengakomodir dan mengesahkan dua lambang kemanusiaan yang eksis di Indonesia ini, yakni Lambang Palang Merah dan Lambang Bulan Sabit Merah dengan mengesahkan dua perhimpunan nasional yang ada.

Ketiga,tetap disahkan UU Lambang Palang Merah ini tapi tidak menghapus organisasi lain yang menggunakan lambang di Konvensi Jenewa tersebut.

Hendaknya, perlu ada kebijakan dari Pemerintah maupun DPR mengenai permasalahan RUU Lambang Palang Merah ini agar nantinya RUU ini tidak menjadi sumber masalah baru dan konflik dalam masyarakat, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Karena pada prinsipnya organisasi-organisasi kemanusiaan ini selalu dibutuhkan oleh masyarakat luas. Jadi, kebijakan dalam hal ini berarti juga mempengaruhi kebutuhan masyarakat luas. (bsmisumut.or.id)

0 komentar:

Posting Komentar